Syirkah abdān adalah dua orang sepakat untuk menerima suatu pekerjaan
dengan keuntungan upah dibagi menurut kesepakatan bersama. Hal tersebut banyak
dijumpai pada tukang-tukang kayu, tukang besi, kuli angkut, tukang jahit dan
yang tergolong kerja dalam bidang jasa.
Syirkah
abdān ini juga disebut syirkah a‟māl, karena yang dijadikan
sebagaimodal adalah tenaga masing-masing persero. Syirkah abdān ini juga
dapat merupakan kerjasama antara tukang-tukang yang berbeda keahliannya,
misalnya antara tukang kayu dengan tukang batu, dan sebagainya. Imam Syafi‟i
tidak membenarkan syirkah ini dengan alasan bahwa perkongsian hanya
berhubungan dengan harta bukan kerja. Menurut beliau kerja itu tidak tertentu
batas-batasnya sehingga mengandung kesamaran.
Perkongsian
jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan
alasan, antara lain bahwa tujuan dari perkongsian ini adalah mendapatkan
keuntungan. Namun demikian, ulama‟ Malikiyah menganjurkan syarat untuk
kesahihan syirkah itu, yaitu harus ada kesatuan usaha. Mereka
melarangnya kalau jenis barang yang dikerjakan keduanya berbeda, kecuali masih
ada kaitannya satu sama lain. Misalnya usaha penenunan dan pemintalan. Selain
itu, keduanya harus berada di tempat yang sama. Jika berbeda tempat, syirkah
ini tidak sah.
Dari
beberapa pengertian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diketahui bahwa, syirkah
adalah suatu kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam
usaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Pembagian
keuntungan bagi tiap partner harus dilakukan berdasarkan perbandingan
persentase tertentu, bukan ditentukan dalam jumlah yang pasti. Menurut para
pengikut mazhab Hanafi dan Hambali, perbandingan persentase keuntungan harus
ditentukan dalam kontrak. Penentuan jumlah yang pasti bagi setiap partner tidak
dibolehkan, sebab seluruh keuntungan tidak mungkin direalisasikan dengan
melampaui jumlah tertentu, yang dapat menyebabkan partner yang lain tidak
memperoleh bagian dari keuntungan tersebut.
Menurut
pendapat pengikut mazhab Syafi‟i, pembagian keuntungan tidak perlu ditentukan
dalam kontrak, karena setiap partner tidak boleh melakukan penyimpangan antara
kontribusi modal yang diberikan dan tingkat ratio keuntungan. Menurut Nawawi,
keuntungan dan kerugian harus sesuai dengan proporsi modal yang diberikan,
apakah dia turut kerja atau tidak, bagian tersebut harus diberikan dalam porsi
yang sama diantara setiap partner.
Para
pengikut mazhab Syafi‟i tidak membolehkan perbedaan antara perbandingan pembagian
keuntungan dengan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak musyarakah,
sedangkan menurut pengikut mazhab Hambali dan Hanafi pembagian tersebut sedapat
mungkin dilakukan lebih fleksibel. Setiap partner dapat membagi keuntungan
berdasarkan ketentuan porsi yang sama atau tidak sama. Misalnya partner yang
memberikan 1/3 dari keseluruhan modal musyarakah dapat diperoleh ½ atau lebih
dari keuntungan. Prinsipnya setiap partner berhak mendapatkan keuntungan yang
ditentukan oleh beberapa hal, yaitu modal, peran dalam pekerjaan, atau tanggung
jawab dalam kontrak.
Apabila
terjadi kerugian (loss), keempat mazhab sunni mengatakan, bahwa dalam
kotrak musyarakah tidak ada fleksibilitas pembagian kerugian dengan
perbandingan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak. Pembagian kerugian
harus dilakukan secara teliti sesuai dengan perbandingan kontribusi modal yang
disertakan dalam kontrak. Menurut Jaziri, jika salah satu partner mensyaratkan
partner lain untuk menanggung lebih besar jumlah kerugian dari pada
perbandingan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak, maka kontrak
tersebut dinyatakan batal dan tidak sah.
Pengertian Syirkah abdān atau syirkah a‟māl