Monday, September 30, 2013

Pengertian Syirkah abdān atau syirkah a‟māl


Syirkah abdān adalah dua orang sepakat untuk menerima suatu pekerjaan dengan keuntungan upah dibagi menurut kesepakatan bersama. Hal tersebut banyak dijumpai pada tukang-tukang kayu, tukang besi, kuli angkut, tukang jahit dan yang tergolong kerja dalam bidang jasa.
Syirkah abdān ini juga disebut syirkah a‟māl, karena yang dijadikan sebagaimodal adalah tenaga masing-masing persero. Syirkah abdān ini juga dapat merupakan kerjasama antara tukang-tukang yang berbeda keahliannya, misalnya antara tukang kayu dengan tukang batu, dan sebagainya. Imam Syafi‟i tidak membenarkan syirkah ini dengan alasan bahwa perkongsian hanya berhubungan dengan harta bukan kerja. Menurut beliau kerja itu tidak tertentu batas-batasnya sehingga mengandung kesamaran.
Perkongsian jenis ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Dengan alasan, antara lain bahwa tujuan dari perkongsian ini adalah mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ulama‟ Malikiyah menganjurkan syarat untuk kesahihan syirkah itu, yaitu harus ada kesatuan usaha. Mereka melarangnya kalau jenis barang yang dikerjakan keduanya berbeda, kecuali masih ada kaitannya satu sama lain. Misalnya usaha penenunan dan pemintalan. Selain itu, keduanya harus berada di tempat yang sama. Jika berbeda tempat, syirkah ini tidak sah.
Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diketahui bahwa, syirkah adalah suatu kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam usaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Pembagian keuntungan bagi tiap partner harus dilakukan berdasarkan perbandingan persentase tertentu, bukan ditentukan dalam jumlah yang pasti. Menurut para pengikut mazhab Hanafi dan Hambali, perbandingan persentase keuntungan harus ditentukan dalam kontrak. Penentuan jumlah yang pasti bagi setiap partner tidak dibolehkan, sebab seluruh keuntungan tidak mungkin direalisasikan dengan melampaui jumlah tertentu, yang dapat menyebabkan partner yang lain tidak memperoleh bagian dari keuntungan tersebut.
Menurut pendapat pengikut mazhab Syafi‟i, pembagian keuntungan tidak perlu ditentukan dalam kontrak, karena setiap partner tidak boleh melakukan penyimpangan antara kontribusi modal yang diberikan dan tingkat ratio keuntungan. Menurut Nawawi, keuntungan dan kerugian harus sesuai dengan proporsi modal yang diberikan, apakah dia turut kerja atau tidak, bagian tersebut harus diberikan dalam porsi yang sama diantara setiap partner.
Para pengikut mazhab Syafi‟i tidak membolehkan perbedaan antara perbandingan pembagian keuntungan dengan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak musyarakah, sedangkan menurut pengikut mazhab Hambali dan Hanafi pembagian tersebut sedapat mungkin dilakukan lebih fleksibel. Setiap partner dapat membagi keuntungan berdasarkan ketentuan porsi yang sama atau tidak sama. Misalnya partner yang memberikan 1/3 dari keseluruhan modal musyarakah dapat diperoleh ½ atau lebih dari keuntungan. Prinsipnya setiap partner berhak mendapatkan keuntungan yang ditentukan oleh beberapa hal, yaitu modal, peran dalam pekerjaan, atau tanggung jawab dalam kontrak.
Apabila terjadi kerugian (loss), keempat mazhab sunni mengatakan, bahwa dalam kotrak musyarakah tidak ada fleksibilitas pembagian kerugian dengan perbandingan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak. Pembagian kerugian harus dilakukan secara teliti sesuai dengan perbandingan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak. Menurut Jaziri, jika salah satu partner mensyaratkan partner lain untuk menanggung lebih besar jumlah kerugian dari pada perbandingan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak, maka kontrak tersebut dinyatakan batal dan tidak sah.

0 comments:

Post a Comment